Skip to main content

Celoteh di Gubuk Senja




     Hujan berjatuhan ketika aku semangatnya bekerja bersama kakek, nenek dan dan legian, adik sepupuku yang juga ikut ke ladang di liburan kali ini. Kami langsung bergegas pulang walaupun ada sedikit lagi pekerjaan yang belum selesai. Nenek langsung mengambil daun pisang untuk dijadikan payung yang kemudian langsung diikuti olehku dan, legian dan juga kakek secara berurutan. Nenek berada terdepan untuk memimpin pasukan kecil kami ini menuju sebuah gubuk persitirahatan kami. Serambi di perjalanan pulang, nenek bercerita tentang orang-orang tua dahulu juga menggunakan daun pisang sebagai payung seperti yang kami praktekkan sekarang. 
    
     Sesampai di gubuk, kami mengganti pakaian yang sedikit basah tadi. Kami beristirahat di dalam gubuk tua penuh kenangan ini yang terbuat dari kayu dan beratapkan seng. Nenek dan kakek nampaknya sangat gembira melihat kedua cucunya ini tumben-tumbenan mau ikut ke ladang. Istirahat kamipun diselingi dengan cerita motivasi tentang kisah hidup mereka. Terselip pepatah yang sampai saat ini sangat membekas di hati. "Peragu dak dapat sagu, pengagau mati jatuh,  penyemah mati anyut, perajuk ilang surang, pumengih gedang keno"
Artinya kita tidak boleh memiliki keraguan dalam melakukan sesuatu, orang yang perajuk akan hilang dengan sendiri, apalagi di hutan, dan orang yang pemarah akan merasakan kerugian yang besar.

     Ya mungkin itulah cerita malam ini dari dua orang hebat itu. Sangat menginspirasi dan membangunkanku akan tidur pulas akan mimpi masa depan. 

     Malam kedua aku bersama mereka di gubuk tua ini dengan suasana alam yang sangat bershabat dengan kelembutannya. Suasan malam ini sangat tenang, dengan ketenangan ini, aku ditemani lilin putih yang perlahan semakin habis dimakan api. Aku merasakan ada sesuatu yang kurang, ternyata aku sedang teringat sesosok nama, yang ketika kuingat hatiku terasa lebih indah dari sebelumnya. Kupanggil ia dengan sebutan Ara. Ya Ara. Aku bergegas langsung mengambil hp, terlihat enam belas panggilan tak terjawab. Mungkin dia juga merasakan hal yang sama. Satu kata pembunuh jiwa yang merana, ya itulah rindu. Karena memang beberapa hari ini aku jarang menghubunginya. Ku telepon balik, tak lama kemudian aku mendengar suara seorang wanita pelipurlara hati ini. Sontak aku terdiam sejenak karena suara itu. Aku tau percis suara khas wanita itu. Yang membuatku bernostalgia tentang nya. Terkadang disitu, aku lemah dalam hal ini. Aku terlalu dalam mencintai, sehingga aku selalu berkelahi mengalahkan jarak tentang cinta ini. Sehingga rasa takut kehilangan selalu kurasa setiap aku benar-benar mencintai seseorang.

     Melalui buku dan pensil yang selalu kubawa kemanapun aku pergi. Aku selalu ingin bercerita tentang cinta. Karena dengan cara ini hati menjadi tenang kembali. Tenang tentang ketakukan kehilangan yang aku rasakan. Kuharap semua akan indah suatu saat.

     Setelah bercerita di buku harian hijau itu, aku menarik selimut. Mungkin tidur adalah jalan keduaku agar aku bertemu dengannya melalui mimpi indahku. Dan kuharap juga, semoga pengharapan kita juga sama. Kuucap dalam hati "Selamat tidur Ara, selamat tidur Cinta"

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Buku Hijau

Untukmu saksi bisu. Denganmu garis-garis perjuangan ku ukirkan. Denganmu bait-bait cinta kurangkaikan. Denganmu segala sendu kusampaikan. Dan denganmu jutaan semangat ku hamburkan. Kau hanya diam tersenyum melihatku menulis diatasmu. Kaulah sahabat sebenar-benar sahabat. Tidak khianat. Sekarang tetaplah bisu. Tapi nanti setelah aku mati. Ceritakanlah sejarah juang dan mimpi-mimpiku pada manusia dan semesta. Karena aku hanyalah manusia egois yang ingin jiwaku tetap hidup, walau raga telah tiada. Sahabat, kau akan menjadi pemantik perubahan dunia. Terima kasih sahabatku, setia selalu. Walau kita terpisah oleh dimensi ruang dan waktu. ~dorelefendi

Kesadaran

     Hanya ada suara adzan di masjid ketika kami melakukan kunjungan ke salah satu rumah sakit di sudut kota. Mungkin karena malam, sehingga tempat ini tidak begitu ramai akan suara. Langkah kaki bergesek ke lantai terdengar, sesekali terdengar juga suara orang-orang yang melintas menghiasi perjalanan kami menuju ruangan B1, bagian rawat inap.      Sama seperti rumah sakit pada umumnya, Rumah Sakit Raden Mat Taher yang ada di Kota Jambi ini termasuk rumah sakit yang menghadirkan suasana mencekam. Bagiku rumah sakit selalu mencekam, terutama tentang kesedihannya. Orang-orang yang biasa bersama dengan tawa, kini mesti berlarut dengan kesedihan karena penyakit. Bahkan tidak sedikit yang mesti mendatangkan tangisan penuh kesedihan karena kematian.      Sebelum menaiki tangga menuju lantai dua, aku sempat meliihat seorang anak muda yang tidak sanggup lagi berjalan. Ia didorong diatas kursi roda bertangkaikan infus di samping kanannya. Tatapannya kosong. Sayang sekali rasanya, umur semu