Hanya ada suara adzan di masjid ketika kami melakukan kunjungan ke salah satu rumah sakit di sudut kota. Mungkin karena malam, sehingga tempat ini tidak begitu ramai akan suara. Langkah kaki bergesek ke lantai terdengar, sesekali terdengar juga suara orang-orang yang melintas menghiasi perjalanan kami menuju ruangan B1, bagian rawat inap.
Sama seperti rumah sakit pada umumnya, Rumah Sakit Raden Mat Taher yang ada di Kota Jambi ini termasuk rumah sakit yang menghadirkan suasana mencekam. Bagiku rumah sakit selalu mencekam, terutama tentang kesedihannya. Orang-orang yang biasa bersama dengan tawa, kini mesti berlarut dengan kesedihan karena penyakit. Bahkan tidak sedikit yang mesti mendatangkan tangisan penuh kesedihan karena kematian.
Sebelum menaiki tangga menuju lantai dua, aku sempat meliihat seorang anak muda yang tidak sanggup lagi berjalan. Ia didorong diatas kursi roda bertangkaikan infus di samping kanannya. Tatapannya kosong. Sayang sekali rasanya, umur semuda itu, dengan semangat yang seharusnya dapat ditularkan, malah sibuk menghabiskan infus sebagai asupan energi utama.
Memasuki ruangan B1, tempat pasien bernama Lasman diinapkan, aku mengamati orang-orang di dalam kamar yang berisi enam pasien dengan minimal satu orang keluarga pasien yang mendampingi. Ibu lasman yang sedang duduk bersandar di dinding sambil memegang gawai dengan tangan kanannya sibuk bercakap dengan seseorang yang sepertinya itu adalah anggota keluarga. Matanya yang tak lagi bersinar seperti biasanya, suaranya yang tidak lagi seenerjik biasnya, memperlihatkan bahwa dia memang sedang tidak dalam kebahagiaan. Ia sedang bersedih melihat anaknya sedang terbaring menanggung penyakit. Begitulah orang tua, ia tidak pernah mengatakan dia menyayangi kita. Cintanya yang lebih luas daripada dunia terlihat ketika kita terkena musibah.
Di samping Lasman, terlihat seorang lelaki paruh baya terlentang. Terlihat seperti onggokan tulang tanpa daging. Kakinya begitu kurus, kelihatan sekali lekuk tulang di tubuhnya. Aku tidak tahu percis apa yang membuatnya seperti itu. Yang jelas, aku sangat yakin dia tidak ingin seperti itu. Selain itu, juga dalam kamar yang sama juga terlihat lelaki yang sedang tidur menghadap ke langit-langit kamar yang berukuan enam kali enam meter dengan hidung dibungkus kapas, kata orang sih agar cairan hidungnya tidak keluar melulu. Di kamar sebelah, tepat di depan tempatku duduk, terlihat seorang wanita yang sedang dipapah oleh seorang lelaki untuk berjalan menuju toilet kamar. Sesekali ia kelihatan mengeluh. Sepertinya tanpa lelaki disampingnya ia takkan sanggup berjalan sendiri.
Selama aku mengamati, selama itu pula aku mencoba diskusi dengan diriku sendiri. Dapat kutarik kesimpulan bahwa penyakit tidak memandang usia, tidak memandang jabatan serta gender. Semuanya dihampiri. Ia hadir untuk menginngatkan orang yang sakit itu sendiri maupun orang lain yang sedang baik-baik saja saat ini.
Melalui perjalanan kali ini, aku belajar bersyukur, belajar mencintai amanah kesehatan yang diberikan tuhan ini. Rasanya sangat memalukan sekali jika tubuh yang bugar ini hanya aku manfaatkan untuk tiduran di kasur ; tanpa resolusi. Suatu kebodohan jika aku melakukan demikian, karena jikalau begitu, aku hanya menunggu giliran seperti mereka yang sedang menderita di rumah sakit saat ini.
Comments
Post a Comment