Skip to main content

Makademia, Semoga Menjadi Solusi

Perhutanan sosial adalah jawaban dari permasalahan hutan yang ada di Indonesia selama ini. Bagaimana tidak, perhutanan sosial atau yang biasa disingkat menjadi PS bisa masuk ke berbagai aspek permasalahan seperti permasalahan ekologi, permasalahan ekonomi maupun permasalahan sosial dan kelembagaan yang terjadi di masyarakat. 

Ketiga aspek pengelolaan tersebut diatasi oleh perhutanan sosial dengan memberikan solusi yang lebih komprehensif dan fleksibel. Permasalahan ekologi contohnya, krisis deforestasi dan degradasi hutan yang dialami dalam dunia kehutanan khususnya dapat ter back up oleh perhutanan sosial karena salah satu prinsip dalam perhutanan sosial memberikan kewajiban kepada masyarakat selaku pelaksana di tingkat tapak untuk memperhatikan pertimbangan keseimbangan ekologis.

Diantaranya adalah adanya skema HKM (Hutan Kemasyarakatan) yang mewajibkan penanaman PBPS (Penyediaan Bibit Perhutanan Sosial) di suatu kawasan HKM yang telah diterbitkan SK nya oleh KLHK (Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan). Hal ini menandakan bahwa adanya upaya pemerintah untuk menanami lahan hutan dengan bibit pohon. Dengan catatan tetap mempertimbangkan kesejahteraan ekonomi masyarakat.

Aspek ekonomi dan sosial pun juga demikian. Adanya legalisasi dari pemerintah kepada masyrakat terhadap pengelolaan suatu lahan yang termasuk kedalam kawasan hutan serta dukungan dari pemerintah dalam bentuk pendampingan kepada masyrakat, membuat ekonomi masyarakat yang semakin meningkat. Selain itu, salah satu hal penting yang perlu digaris bawahi dari adanya perhutanan sosial adalah hubungan masyarakat (petani) menjadi lebih baik dengan pemerintah (termasuklah Polisi Hutan). 

Seperti yang disampaikan oleh Pak Bambang Supriyanto (Dirjen PSKL) dalam bukunya yang berjudul Catatan Dari Tepi Hutan, fasilitator dalam perhutanan sosial mesti mengubah persepsi persepsi masyarkat kepadanya. Pendekatan yang petugas lapangan sebelum tahun 2015 adalah "Pembatasan dan pemberian sanksi"seperti menghukum mereka yang melakukan penebangan liar, berladang dalam kawasan hutan, perambahan maupun penambangan. Kini, perhutanan sosial hadir dengan pendekatan yang berbeda, petugas lapangan bertanggung jawab menumbuhkan rasa saling percaya anatara masyarakat dan pemerintah. Masyarakat tidak lagi menjadi sasaran pengaturan melainkan menjadi rekan kolaborasi dalam pelaksaan kehutanan.


Foto bersama mahasiswa PKL dengan anggota KTH Bina Lestari.

KTH (Kelompok Tani Hutan) Bina Lestari adalah contoh kelompok masyarakat dibawah binaan UPTD KPHP Kerinci yang baru mendapat izin perhutanan sosial pada tanggal 1 April 2020. Kelompok yang berada di bawah dampingan Kak Endah selaku penyuluh kehutanan dari pemerintah mendapat izin hutan kemasyarakatan. Kali ini kami diajak oleh Kak Endah mengunjungi wilayah binaannya yang berada tepat di kaki Gunung Kerinci, lebih tepatnya di Desa Kebun Baru, Kayu Aro Barat. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 1 jam dari rumah yang berada di Kecamatan Siulak, barulah kami sampai di desa. Untuk menuju lokasi lahan perhutanan sosial KTH Bina Lestari, kami mesti melewati jalan tanah bercampur bebatuan dengan kiri dan kanan jalan adalah ladang masyarakat.

Udara yang sangat sejuk dan masyarakat yang ramah, membuat saya dan teman-teman lainnya termasuk Kak Endah sangat senang berada di sini. Setelah mobil kami melewati jalan tanah yang lumayan jauh dengan cahaya matahari yang menyengat akhirnya kami sampai di tempat meletakkan mobil. Dan kami harus menempuh perjalanan kurang lebih 10 menit lagi untuk sampai di pondok milik KTH Bina Lestari.

Ketika keluar dari mobil, saya sangat tercengang melihat kondisi hutan sudah berubah menjadi hamparan ladang yang ditempati warga. Hampir setengah dari Gunung Kerinci sudah habis di konversi warga dari hutan menjadi lahan pertanian. Di sebelah barat Gunung Kerinci, juga demikian. Kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat menjadi sasaran empuk bagi masyarakat untuk melakukan ilegal logging. Tentu saya selaku akademisi di bidang kehutanan meliihat miris hal ini terjadi. Dalam hati saya berkata "ini menjadi tanggung jawab besar bagi kami, yang nantinya akan menyandang gelar rimbawan untuk menyelesaikan persoalan ini".

 

Kawasan Hutan yang telah di konversi masyarakat menjadi ladang di kaki Gunung Kerinci.

Setibanya kami di pondok milik KTH Bina Lestari, kami langsung disambut oleh ketua kelompok tani yaitu Pak Kasto dan beberapa anggot kelompok yang sedang memasang plang milik kelompok. Kami juga didampingi oleh Mas Heri selaku fasilitator desa, yang berperan besar dalam membantu merealisasikan berjalannya perhutanan sosial di Desa Kebun Baru ini bersama Kak Endah.

Kami duduk bersama di atas pondok yang terbuat dari kayu dan bambu. Dengan cat hijau yang berpadu putih membuat pondok sederhana di tengah hutan yang baru didirkan oleh Pak Kasto dan anggotanya terlihat begitu istimewa. Angin dingin yang berhembus, dengan latar pemandangan Gunung Kerinci yang menawan, menjadikan diskusi kali ini hadir dengan kesan yang berbeda dari tempat lain yang kami kunjungi.

Ketua Kelompok Tani Hutan Bina Lestari, Pak Kasto

Pak Kasto menjelaskan bagaimana proses terbentuknya KTH Bina Lestari yang akhirnya bisa mendapat SK Menteri. Pada tahun 2017, Pak Kasto mulai menggalang anggota untuk menginisiasi pembentukan kelompok tani. Katanya, ini bukan perkara yang gampang karena sebagian masyrakat tidak begitu tertarik. Masyarakat yang sebagian besar adalah petani yang berpenghasilan dan cukup, bahkan lebih, memilih acuh untuk terlibat dalam kelompok. Termasuk Pak Kasto, pada awalnya, beliau juga tidak tertarik. Karena merasa penghasilannya sebagai petani sudah cukup menghidupi keluarga.

Saya bertanya kepada Pak Kasto terkait hal tersebut. “Jadi, kenapa bapak mau berperan disini ?” “Saya disini karena saya tahu, baru kemudian saya mau.” Jawabnya singkat. “Gimana itu pak ?” Tanyaku memperjelas. “Dengan adanya SK HKM dari menteri setidaknya ada kelebihan yang saya dan kelompok akan dapakan. Yang pertama yaitu adanya legalitas lahan. Karena jujur saja, kami yang berladang di sini tidak memiliki sertifikat tanah yang diakui Negara karena setelah dilihat dalam peta, wilayah kami ini termasuk kedalam kawasan hutan Negara. Sehingga tidak memungkinkan adanya penerbitan sertifikat yang diakui Negara. Kedua, setelah kami diakui Negara dalam bentuk SK, tentunya kami akan mendapat dampingan dan dukungan dari pemerintah.”

Tentunya pemahaman Pak Kasto yang sudah meningkat mengenai perhutanan sosial tidak lepas dari peran Kak Endah selaku penyuluh dan Mas Heri selaku fasilitator desa.

Di Desa Kebun Baru, terdapat dua kelompok tani yang sudah memiliki SK Perhutanan Sosial. Yaitu KTH Bina Lestari dan KTH Gunung Kapur. Kedua kelompok ini sudah mendapatkan bantuan seperti AEP (Alat ekonomi produktif) serta PBPS (Penyediaan bibit perhutanan sosial). Dan kebetulan untuk tahap awal ini, KTH Bina Lestari mendapat bibit Kacang Makademia sebagai percobaan awal. Sedangkan KTH Gunung Kapur belum mendapatkannya karena ini masih tahap percobaan awal. Permerintah memberikan bantuan bibit Kacang Makademia hanya untuk 50 Ha lahan di Kabupaten Kerinci. 25 Ha di Kayu Aro yaitu di lahan KTH Bina Lestari dan 25 Ha lagi di Tamiai dan Seberang Merangin.

Lokasi KTH Bina Lestari yang berda di ketinggian kurang lebih 1700 Mdpl diharapkan mampu menjadi habitat yang baik bagi Kacang Makademia. Karena kacang berasal dari Australia ini menyukai tempat yang dingin untuk tumbuh. Walaupun demikian, tidak semua anggota kelompok KTH Bina Lestari mendapat bantuan bibit Kacang Makademia. Karena alokasi bantuan bibit Kacang Makademia dari pemerintah hanya 25 Ha. Sedangkan luas wilayah KTH Bina Lestari yang lebih dari 25 Ha, menyebabkan sisanya hanya kebagian bibit PBPS. Dengan kata lain, dari 32 anggota KTH, hanya 19 yang mendapatkan bantuan bibit Kacang Makademia.

“Semoga saja tidak terjadi kecemburuan yang berlebihan dari KTH lain dan anggota yang belum mendapat bantuan bibit Kacang Makademia ini.” Harap Pak Kasto. “Karena ini baru percobaan, dan kalau berhasil nantinya, pasti kelompok dan anggota lain pasti juga akan mendapatkan bantuan dari pemerintah.” Tambah Pak Kasto.

Bibit Kacang Makademia yang ditanam di lahan KTH Bina Lestari.

Kacang Makademia adalah kacang termahal di dunia. Dari pemaparan Kak Endah, kacang ini bisa mencapai harga Rp.350.000 Perkilo gram. Tentu jika ini berhasil, maka secara tidak langsung akan menngalihkan perhatian masyrakat untuk merusak hutan konservasi (TNKS) yang masih tersisa. Manurut Pak Kasto, jika bibit Makademia ditanam dengan jumlah 156 bibit perhektar, maka penghasilan masyarakat bisa mencapai 13 juta perbulan. Tentu ini menjadi lahan bisnis yang sangat cerah. Pak Kasto berterima kasih banyak kepada pemerintah karena secara sabar melalui fasilitator memberikan pemahaman kepada masyarakat. Dalam penjelasan Pak Kasto, kelompoknya diberikan sosialisasi mengenai Kacang Makademia oleh fasilitator. Kemudian, pemerintah memberangkatkan Pak Kasto untuk melakukan studi banding dan belajar lebih dalam mengenai Makademia di Bondowoso. Selain itu, pemerintah juga memberikan sekolah lapangan bagi anggota kelompok tentang Kacang Makademia ini.

Mas Heri selaku fasilitator yang sudah masuk dari tahun 2011 mengaku bangga atas kolaborasi yang terjadi ini. Mulai dari pemerintah, sampai kepada masyarakat yang mau melakukan semua ini demi sustainability di bidang ekonomi, ekologi maupun sosial kelembagaan. Mas Heri memaparkan bagaimana semua ini terjadi. Dua tahun pertamanya menjadi fasilitator desa, dia hanya fokus melakukan pendekatan kepada masyarakat. Karena dia tahu, masyarkat pada awalnya memiliki paradigma yang negative terhadap fasilitator, termasuk pemerintah. Mas Heri juga mengatakan bahwa dulu pernah ada kegiatan reboisasi kawasan yang telah ditempati masyarakat. Namun, kegiatan tersebut tidak melibatkan masyarkat. Alhasil, tumbuhan yang telah ditanam oleh tersebut dirusak dan dicabut oleh masyarakat.

Selaku fasilitator desa, Mas Heri dinaungi BBTNKS (Balai Besar Taman Nasional Kerinci Seblat), BPSKL (Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan), dan di bawah BPDAS (Badan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai). Mas Heri mengatakan bahwa sudah ada 2 kelompok yang menjadi role model sebagai kelompok yang berada di kawasan taman nasional dengan melakukan penanaman kayu endemik. Untuk BPSKL, dia telah mengusulkan 4 kelompok yang akan di terbitkan SK perhutanan sosialnya di tahun 2017, dan baru 2 kelompok yang sudah terbit. Yaitu KTH Bina Lestari dan KTH Gunung Kapur. Dan untuk BPDAS, karena areal BPDS di APL (Areal penggunaan lain), mereka melakukan penanaman kayu-kayuan di desa, lebih tepatnya di pinggiran sungai. Termasuk bantuan bibit Makademia ini juga berasal dari BPDAS.

BPDAS yang menyediakan bibit Makademia, BPSKL di bidang pelegalan Perhutanan Sosial bagi masyararakat. Semoga dengan kolaborasi yang ini. Hutan lestari, masyarakat sejahtera.  


Comments

Popular posts from this blog

Buku Hijau

Untukmu saksi bisu. Denganmu garis-garis perjuangan ku ukirkan. Denganmu bait-bait cinta kurangkaikan. Denganmu segala sendu kusampaikan. Dan denganmu jutaan semangat ku hamburkan. Kau hanya diam tersenyum melihatku menulis diatasmu. Kaulah sahabat sebenar-benar sahabat. Tidak khianat. Sekarang tetaplah bisu. Tapi nanti setelah aku mati. Ceritakanlah sejarah juang dan mimpi-mimpiku pada manusia dan semesta. Karena aku hanyalah manusia egois yang ingin jiwaku tetap hidup, walau raga telah tiada. Sahabat, kau akan menjadi pemantik perubahan dunia. Terima kasih sahabatku, setia selalu. Walau kita terpisah oleh dimensi ruang dan waktu. ~dorelefendi

Kesadaran

     Hanya ada suara adzan di masjid ketika kami melakukan kunjungan ke salah satu rumah sakit di sudut kota. Mungkin karena malam, sehingga tempat ini tidak begitu ramai akan suara. Langkah kaki bergesek ke lantai terdengar, sesekali terdengar juga suara orang-orang yang melintas menghiasi perjalanan kami menuju ruangan B1, bagian rawat inap.      Sama seperti rumah sakit pada umumnya, Rumah Sakit Raden Mat Taher yang ada di Kota Jambi ini termasuk rumah sakit yang menghadirkan suasana mencekam. Bagiku rumah sakit selalu mencekam, terutama tentang kesedihannya. Orang-orang yang biasa bersama dengan tawa, kini mesti berlarut dengan kesedihan karena penyakit. Bahkan tidak sedikit yang mesti mendatangkan tangisan penuh kesedihan karena kematian.      Sebelum menaiki tangga menuju lantai dua, aku sempat meliihat seorang anak muda yang tidak sanggup lagi berjalan. Ia didorong diatas kursi roda bertangkaikan infus di samping kanannya. Tatapannya kosong. Sayang sekali rasanya, umur semu