Skip to main content

Apakah Ini Kebahagiaan Rembulan ?

     Malam telah tiba, sang siang telah tiada. kegelapan malam sangat terasa ketika aku duduk di kursi kecil depan rumah di kaki gunung kerinci. Sambil menggeser menu di hp sembari sesekali masuk kedalam rumah untuk melayani pembeli di warung kecil milik keluarga ini.

     Jarum jam terus berputar pertanda siang kian menjauh. Artinya kebahagiaan sang mentari telah pergi dan siap diganti oleh rembulan. Kutunggu rembulan namun tiada tiba. Kutunggu lagi namun sang rembulan tak kunjung datang. Hati ini tak terima. Kebahagiaan sang mentari kini diganti dengan kesunyian malam yang sangat jauh dari ekspektasi semula. Udaranya yang dingin sampai ke tulang. Apalagi hati, seolah ditusuk jarum perlahan karena belum siap menerima kenyataan ini.

     Otak ini tak mampu berpikir lagi tentang kebahagiaan yang ditunggu itu. Aku mencoba bertahan diatas kepahitan ini dan melawan logika yang seharusnya membawaku tidur lelap saat ini.

     Berdiam disini aku sendiri. Mencoba menghibur diri dengan nyanyian masa kecil, kulihat ke langit ada pancaran cahaya. Membuatku bertanya apakah ini kebahagiaan rembulan yang sudah lama ku tunggu itu ?. Terus kupandangi cahaya itu dengan sorot mata yang tajam. Cahaya kecil itu tepat berada di samping bayang-bayang Kokoh gunung kerinci. Kupikir malam ini aku hanya menikmati kegelapan awan malam. Dengan filosofinya melambangkan kedataran atau kejujuran.

     Angin semakin semangat berhembus, kedua kaki sudah mulai gemetar, diikuti dengan getaran rahang tak terhenti dan dinginnya ujung jari tangan. Kucoba bertahan dengan semua ini, dengan harapan cahaya kecil tadi adalah kebahagiaan rembulan yang kunanti selama ini.

     Dengan meyakinkan diri bahwa semua derita yang kutanggung saat ini pasti akan berganti dengan suatu kebahagiaan yang hakiki. Cahaya kecil juga terlihat dari sisi lain dari bayangan gunung kerinci. Hatiku mulai gundah, karena ku tau rembulan tak ada yang mendua. Ditengah kegundahan itu, kunikmati desir angin pegunungan yang kian mencekam. Aku tak memperhatikan tubuhku lagi yang sebenarnya tak sanggup menahan semua ini.

     Awan gelap mulai pergi terbawa arus angin. Kulihat cahaya kecil tadi semakin banyak di angkasa dengan jarak yang tak teratur. Tak kurisaukan lagi apakah rembulan akan datang atau tidak. Tetapi semua telah terganti dengan cahaya kecil ini yang semakin banyak kulihat saat sang awan pergi. Dialah bintang yang ternyata membawa bahagia tersendiri untuk jiwa ini.

     Aku tersenyum sendiri melihat indahnya angkasa. Badan yang tadinya menggigil, kini diganti dengan kehangatan bintang. Kehangatan dalam kedamaian. Itulah yang kurasa saat ini. Hadirnya bintang-bintang bak penghapus luka yang kurasa selama aku bertahan dalam kepahitan.

     Ini mengajarkanku bahwa aku tak boleh serta merta meninggalkan kesakitan yang kurasa. Disaat sekujur tubuh sakit, aku berusaha menikmati awan. Karena awan mengajariku untuk bersabar dalam ujian. Dan ketika awan pergi dengan segala ilmu dan pengalaman yang ia tinggalkan. Aku bertemu sosok surga baru yakni sang bintang. Yang membuatku lupa bahwa aku sedang dalam penantian rembulan. Dan karena bintang hadir setiap malam dengan suasana yang selalu berbeda.

     Begitulah hidup, terkadang seseorang yang sangat kita harapkan untuk datang tak kunjung datang. Tetapi tuhan selalu punya rahasia dan kejutan bagi hamba-Nya yang senantiasa berharap kepada-Nya dengan kesabaran.

Comments

  1. Iya bang. Allah selalu tau apa yg terbaik untuk setiap hamba-nya. .makanya kita harus percaya bahwa Allah akan menghadirkan yg memang seharusnya hadir dan akan menghilangkan apa yg memang bukan untuk kita.

    Selalu semangat menginspirasi kami lewat tulisan bang😇💪

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Buku Hijau

Untukmu saksi bisu. Denganmu garis-garis perjuangan ku ukirkan. Denganmu bait-bait cinta kurangkaikan. Denganmu segala sendu kusampaikan. Dan denganmu jutaan semangat ku hamburkan. Kau hanya diam tersenyum melihatku menulis diatasmu. Kaulah sahabat sebenar-benar sahabat. Tidak khianat. Sekarang tetaplah bisu. Tapi nanti setelah aku mati. Ceritakanlah sejarah juang dan mimpi-mimpiku pada manusia dan semesta. Karena aku hanyalah manusia egois yang ingin jiwaku tetap hidup, walau raga telah tiada. Sahabat, kau akan menjadi pemantik perubahan dunia. Terima kasih sahabatku, setia selalu. Walau kita terpisah oleh dimensi ruang dan waktu. ~dorelefendi

Kesadaran

     Hanya ada suara adzan di masjid ketika kami melakukan kunjungan ke salah satu rumah sakit di sudut kota. Mungkin karena malam, sehingga tempat ini tidak begitu ramai akan suara. Langkah kaki bergesek ke lantai terdengar, sesekali terdengar juga suara orang-orang yang melintas menghiasi perjalanan kami menuju ruangan B1, bagian rawat inap.      Sama seperti rumah sakit pada umumnya, Rumah Sakit Raden Mat Taher yang ada di Kota Jambi ini termasuk rumah sakit yang menghadirkan suasana mencekam. Bagiku rumah sakit selalu mencekam, terutama tentang kesedihannya. Orang-orang yang biasa bersama dengan tawa, kini mesti berlarut dengan kesedihan karena penyakit. Bahkan tidak sedikit yang mesti mendatangkan tangisan penuh kesedihan karena kematian.      Sebelum menaiki tangga menuju lantai dua, aku sempat meliihat seorang anak muda yang tidak sanggup lagi berjalan. Ia didorong diatas kursi roda bertangkaikan infus di samping kanannya. Tatapannya kosong. Sayang sekali rasanya, umur semu