"Hidup itu adalah sesuatu yang dilakukan sebelum kematian"
Kalimat yang dituliskan oleh seorang sahabat di buku usang yang menemaniku setiap hari itu. pertama melihat kalimat itu, aku tertawa konyol. sederhana, sangat sederhana, bahkan aku mengabaikannya untuk beberapa waktu.
Sore jum'at tepat ketika matahari tidak berani menampakkan diri, tertutupi awan yang membawa hujan mendatangkan diri, tak sengaja ketika aku duduk di tepi sebuah destinasi wisata baru di sebuah universitas, aku terlihat tulisan seperti kaki ayam itu.
Tersentak. Renung datang membawa imajinasi untuk tulisan kacau itu. Rintik hujan menemani kesendirianku kala itu, aku baru sadar bahwa tulisan itu memiliki makna yang sangat dalam bagi perjalanan hidup ini.
Mungkin seperti ini "apa yang kita lakukan sebelum kematian, maka itulah kehidupan yang sebenarnya"
Artinya, jika kita tidak melakukan apa-apa, maka kita belum dalam kehidupan yang sebenarnya. Jika kita hanya berada dalam zona nyaman lingkaran hidup kita, tidak ada manfaat yang dirasa oleh lingkungan, maka kita telah mati dalam kehidupan.
Suatu pohon akan mati ketika organ-organ tidak dapat menjalankan fungsi fisiologis pohon tersebut. sel-sel harus aktif dalam pembelahan, pengangkutan dan lain sebagainya untuk menunjukkan eksistensi kehidupan pohon tersebut.
Nah kan, benda yang diam bukanlah makhluk hidup.
Diam, tidak bergerak, tidak berdampak maka itu adalah kematian semu yang menunggu kematian sebenarnya.
Jiwa manusia belum dapat dikatakan hidup jika hanya dalam stagnisasi dalam jangka waktu yang cukup lama. Sebab kematian yang sebenarnya bermula ketika kematian hati dan jiwa.
Bagi seorang ibu, apa yang dapat dilakukan bagi suami, anak dan keluarganya maka dia hidup dalam aliran kehidupannya.
Bagi ayah, berkelahi dengan waktu dan tenaga untuk kesejahteraan keluarga, maka dia menjalani kehidupannya sebagai seorang kepala keluarga.
Bagi mahasiswa, prestasi apa yang torehkan untuk sekitar dan bermanfaat nyata bagi lingkungan, maka itulah kehidupan mahasiswa.
Seorang mahasiswa tidak hidup jika hanya berdiam di suatu titik, tidak memberi dampak, tidak menjalankan fungsi keilmuan yang dimiliki maka dia sedang keadaan mati untuk asa-asanya, cita-citanya, dan harapan-harapan besarnya.
Ada sebuah pertanyaan yang harus kita jawab dalam hati kita masing-masing. Apakah kita telah hidup murni untuk kehidupan ? atau malah menumpang hidup untuk mematikan orang lain atau apakah kita sudah perlahan mati dibunuh semesta ?
Hanya hati dan rasa yang akan menjawab ini dalam implementasi makna kehidupan yang telah kita capai.
Comments
Post a Comment