Skip to main content
Mari ucapkan apa-apa yang menjadi mimpi kita. Karena tuhan tidak pernah mengistirahatkan Malaikat-malaikat-Nya untuk mencatat do'a-do'a manusia.

Begitu kira-kira kalimat yang dapat aku ucapkan untuk menggambarkan apa yang telah terjadi padaku terakhir ini.
Di sebuah warung bakso, duduklah Aku, Andika serta Padli. waktu itu sekitar bulan Agustus tahun 2019. Cengkrama hangat menemani perbincangan kami waktu itu. Semenjak Padli berhenti kuliah, kami memang jarang bertemu. Semua hal kami ceritakan dalam pertemuan kali itu. "Aku pengen ke Padang." Ucapku pada dua sahabatku itu. "Tetatpi aku tidak tahu kapan akan ke sana. Karena memang susah dalam menentukan waktu untuk sebuah perjalanan serta aku juga belum ada tabungan untuk itu." Tambahku. Andika dan Padli juga kelihatan sangat tertarik dengan kalimat pertama ku. mereka juga tetap dengan permasalahan yang sama.

Berawal dari sebuah wacana. Kemudian ditanamkan menjadi sebuah niat yang dengan penuh harap suatu saat akan terkabul dengan cara-cara Tuhan yang tidak disangka manusia.

Hari berlalu, detik diganti menit dan menit diganti jam. Begitu seterusnya hingga penghujung Semester sudah di depan mata.

Comments

Popular posts from this blog

Buku Hijau

Untukmu saksi bisu. Denganmu garis-garis perjuangan ku ukirkan. Denganmu bait-bait cinta kurangkaikan. Denganmu segala sendu kusampaikan. Dan denganmu jutaan semangat ku hamburkan. Kau hanya diam tersenyum melihatku menulis diatasmu. Kaulah sahabat sebenar-benar sahabat. Tidak khianat. Sekarang tetaplah bisu. Tapi nanti setelah aku mati. Ceritakanlah sejarah juang dan mimpi-mimpiku pada manusia dan semesta. Karena aku hanyalah manusia egois yang ingin jiwaku tetap hidup, walau raga telah tiada. Sahabat, kau akan menjadi pemantik perubahan dunia. Terima kasih sahabatku, setia selalu. Walau kita terpisah oleh dimensi ruang dan waktu. ~dorelefendi

Kesadaran

     Hanya ada suara adzan di masjid ketika kami melakukan kunjungan ke salah satu rumah sakit di sudut kota. Mungkin karena malam, sehingga tempat ini tidak begitu ramai akan suara. Langkah kaki bergesek ke lantai terdengar, sesekali terdengar juga suara orang-orang yang melintas menghiasi perjalanan kami menuju ruangan B1, bagian rawat inap.      Sama seperti rumah sakit pada umumnya, Rumah Sakit Raden Mat Taher yang ada di Kota Jambi ini termasuk rumah sakit yang menghadirkan suasana mencekam. Bagiku rumah sakit selalu mencekam, terutama tentang kesedihannya. Orang-orang yang biasa bersama dengan tawa, kini mesti berlarut dengan kesedihan karena penyakit. Bahkan tidak sedikit yang mesti mendatangkan tangisan penuh kesedihan karena kematian.      Sebelum menaiki tangga menuju lantai dua, aku sempat meliihat seorang anak muda yang tidak sanggup lagi berjalan. Ia didorong diatas kursi roda bertangkaikan infus di samping kanannya. Tatapannya kosong. Sayang sekali rasanya, umur semu