Pagi-pagi sekali ketika benang-benang fajar masih bermunculan halus di kaki langit bagian timur. Tomo mulai bergegas mengayuh sepedanya menghirup udara segar kota. Masih sangat segar, terasa hingga mengalir dingin di dada. Pagi memang masih alami, udara hadir dengan kesejukan sebelum dikotori manusia pemilik jejak karbon tinggi.
"Ya setidaknya masih bisa bersepeda untuk mengantar koran pagi ini." Syukur Tomo dalam hati.
Bapak yang sudah berkepala tiga itu selalu semangat setiap pagi. Dikayuhnya sepeda tua warisan bapaknya ketika ia muda dulu dengan sekuat tenaga. Harap-harap bisa mematuk rezeki pagi ini. Semoga ia duluan sebelum ayam mematuk.
Sepeda berwarna hitam kehijauan itu masih setia menemaninya setiap pagi. Walau sepedanya jarang dimanja. Tetapi bagi sepeda, ini tuntutan untuk mendukung kebahagiaan Tomo dengan keluarga.
Koran yang telah diikatkannya di bagian belakang sepeda sudah siap diedarkan. Berita-berita terbaru, cerita-cerita baru serta pengetahuan baru sesak memenuhi badan koran. Tomo selalu yakin. Pekerjaan sebagai penjual koran adalah pekerjaan yang mulia. Karena selain berdagang adalah pekerjaan mulia yang diwariskan oleh Rasulullah, iya juga yakin bisa menyalurkan ilmu seorang penulis melalui koran untuk mencerdaskan anak bangsa. "Semoga saja banyak anak muda yang hobi membeli koran." Tomo selalu memulai pekerjaannya dengan selipan do'a seperti itu.
Tomo merasa miris melihat banyak anak muda sekarang yang terlalu sibuk dengan HP. Kebanyakan sosial media untuk hura-hura. Bukan untuk belajar. Anaknya sendiri, Rana. Pulang dari sekolah langsung main HP hingga lupa waktu. Walaupun tidak bisa dipungkiri, zaman sekarang media sosial lebih menarik daripada bacaan hard copy salah satunya koran. Tetapi tidak masalah berharap masih banyak anak muda yang menyukai koran bukan?
Sesampai di pertigaan tempat ia menjual korannya, Tomo langsung memarkirkan sepedanya di salah satu ruko tua di sebelah kiri jalan. Kemudian langsung menuju ke pembatas tengah jalan sembari menunggu lampu warna warni diatas berubah menjadi warna merah.
Mobil-mobil yang berhenti menunggu lampu hijau menjadi sasaran utama Tomo dalam menjual korannya. Tidak jarang juga ia menawarkan korannya tersebut ke pengendara roda dua.
Setiap lampu hijau, ia selalu dengan tenang menunggu di perbatasan tengah jalan. Diwaktu itulah ia memanfaatkan waktunya untuk membaca korang yang jual. Selalu begitu, setiap hari, setiap lampu hijau. Ketika lampu merah datang, ia langsung turun berteriak dengan mengangkat-angkat koran yang ia pegang.
Lampu kuning, ia bersiap-siap untuk ke pinggir. Mempersilakan pengendera lewat dengan senyuman terbaiknya. Entah korannya dibeli atau tidak.
Begitu siklusnya.
Ketika koran di tangannya sudah habis, ia kembali ke rumahnya dengan rona gembira. Menceritakan pekerjaannya hari ini kepada anak-anaknya.
Selain hobi membaca koran ketika lampu hijau, Tomo juga rutin menuliskan hasil pikirannya setiap hari. Entah tentang apa yang ia baca hari ini, maupun tentang apa yang ia lihat di sepanjang hari. Tentang kejadian-kejaian aneh, isuk-isu terhangat maupun hal-hal lain.
Ia selalu semangat dalam belajar. Kemudian menuangkan buah dari pemikirannya kedalam wadah ilmu bernama buku. Karena belajar, memiliki awal, ketika sudah dimulai, jalan itu takkan pernah berakhir.
Seringkali ia juga mengkritik pelajar-pelajar zaman sekarang yang malas membaca, menulis dan berdiskusi dalam tulisan-tulisan yang disimpannya dalam buku hariannya. Suatu saat, akan diterbitkannya untuk membuka cakrawala pelajar, terkhusus mahasiswa untuk selalu belajar. Karena tidak bagus wawasan seorang penjual koran lwbih luas daripada mahasiswa.
"Ya setidaknya masih bisa bersepeda untuk mengantar koran pagi ini." Syukur Tomo dalam hati.
Bapak yang sudah berkepala tiga itu selalu semangat setiap pagi. Dikayuhnya sepeda tua warisan bapaknya ketika ia muda dulu dengan sekuat tenaga. Harap-harap bisa mematuk rezeki pagi ini. Semoga ia duluan sebelum ayam mematuk.
Sepeda berwarna hitam kehijauan itu masih setia menemaninya setiap pagi. Walau sepedanya jarang dimanja. Tetapi bagi sepeda, ini tuntutan untuk mendukung kebahagiaan Tomo dengan keluarga.
Koran yang telah diikatkannya di bagian belakang sepeda sudah siap diedarkan. Berita-berita terbaru, cerita-cerita baru serta pengetahuan baru sesak memenuhi badan koran. Tomo selalu yakin. Pekerjaan sebagai penjual koran adalah pekerjaan yang mulia. Karena selain berdagang adalah pekerjaan mulia yang diwariskan oleh Rasulullah, iya juga yakin bisa menyalurkan ilmu seorang penulis melalui koran untuk mencerdaskan anak bangsa. "Semoga saja banyak anak muda yang hobi membeli koran." Tomo selalu memulai pekerjaannya dengan selipan do'a seperti itu.
Tomo merasa miris melihat banyak anak muda sekarang yang terlalu sibuk dengan HP. Kebanyakan sosial media untuk hura-hura. Bukan untuk belajar. Anaknya sendiri, Rana. Pulang dari sekolah langsung main HP hingga lupa waktu. Walaupun tidak bisa dipungkiri, zaman sekarang media sosial lebih menarik daripada bacaan hard copy salah satunya koran. Tetapi tidak masalah berharap masih banyak anak muda yang menyukai koran bukan?
Sesampai di pertigaan tempat ia menjual korannya, Tomo langsung memarkirkan sepedanya di salah satu ruko tua di sebelah kiri jalan. Kemudian langsung menuju ke pembatas tengah jalan sembari menunggu lampu warna warni diatas berubah menjadi warna merah.
Mobil-mobil yang berhenti menunggu lampu hijau menjadi sasaran utama Tomo dalam menjual korannya. Tidak jarang juga ia menawarkan korannya tersebut ke pengendara roda dua.
Setiap lampu hijau, ia selalu dengan tenang menunggu di perbatasan tengah jalan. Diwaktu itulah ia memanfaatkan waktunya untuk membaca korang yang jual. Selalu begitu, setiap hari, setiap lampu hijau. Ketika lampu merah datang, ia langsung turun berteriak dengan mengangkat-angkat koran yang ia pegang.
Lampu kuning, ia bersiap-siap untuk ke pinggir. Mempersilakan pengendera lewat dengan senyuman terbaiknya. Entah korannya dibeli atau tidak.
Begitu siklusnya.
Ketika koran di tangannya sudah habis, ia kembali ke rumahnya dengan rona gembira. Menceritakan pekerjaannya hari ini kepada anak-anaknya.
Selain hobi membaca koran ketika lampu hijau, Tomo juga rutin menuliskan hasil pikirannya setiap hari. Entah tentang apa yang ia baca hari ini, maupun tentang apa yang ia lihat di sepanjang hari. Tentang kejadian-kejaian aneh, isuk-isu terhangat maupun hal-hal lain.
Ia selalu semangat dalam belajar. Kemudian menuangkan buah dari pemikirannya kedalam wadah ilmu bernama buku. Karena belajar, memiliki awal, ketika sudah dimulai, jalan itu takkan pernah berakhir.
Seringkali ia juga mengkritik pelajar-pelajar zaman sekarang yang malas membaca, menulis dan berdiskusi dalam tulisan-tulisan yang disimpannya dalam buku hariannya. Suatu saat, akan diterbitkannya untuk membuka cakrawala pelajar, terkhusus mahasiswa untuk selalu belajar. Karena tidak bagus wawasan seorang penjual koran lwbih luas daripada mahasiswa.
Comments
Post a Comment